Pendidikan anak usia dini (PAUD) adalah jenjang pendidikan sebelum jenjang pendidikan dasar
yang merupakan suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak sejak lahir sampai
dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan
untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak
memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut, yang diselenggarakan
pada jalur formal, nonformal, dan informal.
Pendidikan
anak usia dini merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan yang
menitikberatkan pada peletakan dasar ke arah pertumbuhan dan perkembangan fisik
(koordinasi motorik halus dan kasar), kecerdasan
(daya pikir, daya cipta, kecerdasan emosi, kecerdasan spiritual), sosio emosional (sikap dan
perilaku serta agama) bahasa dan komunikasi, sesuai dengan keunikan dan
tahap-tahap perkembangan yang dilalui oleh anak usia dini.
Ada dua
tujuan diselenggarakannya pendidikan anak usia dini yaitu:
·
Tujuan utama: untuk membentuk anak Indonesia yang berkualitas,
yaitu anak yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan tingkat perkembangannya
sehingga memiliki kesiapan yang optimal di dalam memasuki pendidikan dasar
serta mengarungi kehidupan pada masa dewasa.
·
Tujuan penyerta: untuk membantu menyiapkan anak mencapai kesiapan
belajar (akademik) di sekolah.
Rentangan
anak usia dini menurut Pasal 28 UU Sisdiknas No.20/2003 ayat 1 adalah 0-6
tahun. Sementara menurut kajian rumpun keilmuan PAUD dan penyelenggaraannya di
beberapa negara, PAUD dilaksanakan sejak usia 0-8 tahun.
Wajib Belajar 9 Tahun, Sudahkah Dinikmati Orang Miskin?
Sampul
buku karya Eko Prasetyo, terbitan Resist Book, Jogjakarta, 2004.
Suatu
hari pada awal tahun ajaran baru lalu, seorang teman yang akan memasukkan
anaknya ke sebuah SMP Negeri terkenal di Yogyakarta bertandang ke rumah dan
menyampaikan ketakutannya bahwa anaknya yang secara normatif mendapatkan hak
menjadi siswa di sekolah tersebut terancam bakal tidak dapat mengenyam
pendidikan. Selepas Yogyakarta disembur awan panas, sang bapak ini harus
memulai merintis bisnisnya dari awal lagi sehingga untuk menyediakan sejumlah
uang ‘sumbangan gedung’ sama sekali belum mampu dia pikirkan.
Mendengar
curhatnya tersebut, saya sampaikan bahwa program wajib belajar 9 tahun berarti
pemerintah menanggung biaya belajar setiap warga negara Indonesia melalui
sekolah-sekolah negeri. Dengan demikian, sekolah SD dan SMP negeri tidak
diperkenan memberikan beban uang apapun khusunya bagi masyarakat tidak mampu.
Dengan sedikit keras saya memberikan kekuatan kepada kawan ini bahwa masyarakat
dapat menuntut pemerintah melalui sekolah-sekolah negeri ini jika sampai anak
dari masyarakat kurang mampu ini tidak bisa bersekolah gara-gara tidak mampu
membayar uang sumbangan.
Akhirnya
datanglah kawan ini beberapa hari setelah itu dengan senyum cerahnya dan bilang
terima kasih karena anaknya bisa masuk ke sekolah tersebut tanpa membayar
sesenpun.
Kisah ini
pada jeda waktu yang sama sebenarnya tidak hanya dialami oleh kawan saya ini,
karena kawan lain juga mengalami hal yang sama dan cerita bahwa banyak tetangga
desanya menarik anaknya dari sekolah-sekolah SMP yang berstatus negeri karena
tidak mampu membayar uang seragam atau uang sumbangan lain.
Sungguh
bagi saya sebagai guru (pendidik), kisah ini sangat mengiris hati. Mengapa
logika wajib belajar 9 tahun (bahkan sekarang akan dinaikkan menjadi wajar 12
tahun) yang belum secara detail dipahami masyarakat, khususnya masyarakat
kurang mampu, justru dimanfaatkan oleh sesama pendidik yang dalam hal ini para
panitia seleksi siswa baru (managemen sekolah) untuk dibiarkan saja tidak dipahami
sehingga masyarakat tetap tidak mengerti dan menjadi korban kecurangan. Komite
sekolah secara tidak langsung terkadang memberi kontribusi untuk memproduksi
kebijakan yang kurang pro kepada kalangan masyarakat miskin. Pihak
sekolah akan menggunakan dalil keputusan atau kesepakatan komite sekolah untuk
menekan para orang tua siswa agar mengeluarkan sekian juta biaya tahunan atau
biaya pembangunan.
Bagi
masyarakat yang memahami hukum, maka mereka akan berani berargumentasi dengan
pihak sekolah supaya memberikan keringanan. Tetapi akan lain masalahnya jika
hal ini menimpa masyarakat petani miskin yang sama sekali tidak mengerti apa
itu wajib belajar 9 tahun. Mereka hanya akan terdiam dan memilih
memutuskan tidak menyekolahkan anaknya daripada kebingungan untuk memikirkan
bagaimana mencari uang ratusan atau bahkan jutaan rupiah.
Fenomena
ini sepertinya sesuai dengan data bahwa kemiskinan menjadi sebab utama angka
putus sekolah dan tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya.
Data-data
menunjukkan bahwa kenaikan anggaran pendidikan yang signifikan ternyata tak
berbanding lurus dengan upaya penghentian siswa putus sekolah. Tanpa mengurangi
penghargaan saya kepada jajaran pemangku kebijakan khususnya di Kemendiknas
yang telah merancang dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang jumlahnya
cukup besar (Rp 200 ribu/bulan per siswa) bagi siswa kurang mampu (pemegang
KMS), namun diperlukan sosialisasi yang mengakar yang bisa dilakukan hingga
pedesaan bahkan sampai pedukuhan sehingga hal-hal seperti ini tidak lagi
terjadi di masyarakat kita.
Meskipun
juga tidak semua sekolah dan semua pendidik melakukan distorsi informasi kepada
masyarakat, namun tindakan demikian sangat disayangkan dilakukan oleh mereka
yang seharusnya menjadi pihak yang mengayomi dan melindungi generasi Indonesia
dalam memperoleh hak pendidikan.
Melihat
fakta-fakta ini, pemerintah dalam hal ini Kemendiknas akan mendapat PR yang
semakin besar dengan direalisasikannya wajar 12 tahun. Maka untuk menyelamatkan
generasi Indonesia dari terlanggarnya hak memperoleh pendidikan maka peran kita
sebagai masyarakat sangat diperlukan untuk menyebarluaskan informasi yang akan
membantu masyarakat untuk memperoleh haknya sebagai warga negara.
PROGRAM BANTUAN
OPERASIONAL SEKOLAH (BOS)
TAHUN 2012
Latar
Belakang
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional mengamanatkan bahwa setiap warga negara yang
berusia 7-15 tahun wajib mengikuti pendidikan dasar. Pasal 34 ayat 2
menyebutkan bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya
wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya,
sedangkan dalam ayat 3 menyebutkan bahwa wajib belajar merupakan tanggung jawab
negara yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan Pemerintah, pemerintah
daerah, dan masyarakat. Konsekuensi dari amanat undang-undang tersebut adalah
Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan pendidikan bagi
seluruh peserta didik pada tingkat pendidikan dasar (SD dan SMP) serta satuan
pendidikan lain yang sederajat.
Salah satu indikator penuntasan program
Wajib Belajar 9 Tahun dapat diukur dengan Angka Partisipasi Kasar (APK) SD dan
SMP. Pada tahun 2005 APK SD telah mencapai 115%, sedangkan SMP pada
tahun 2009 telah mencapai 98,11%, sehingga program wajar 9 tahun telah tuntas 7
tahun lebih awal dari target deklarasi Education For All (EFA) di Dakar.
Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang dimulai sejak bulan Juli 2005,
telah berperan secara signifikan dalam percepatan pencapaian program wajar 9
tahun. Oleh karena itu, mulai tahun 2009 pemerintah telah melakukan perubahan
tujuan, pendekatan dan orientasi program BOS, dari perluasan akses menuju
peningkatan kualitas.
Pada tahun 2012 Dana Bantuan
Operasional Sekolah (BOS) mengalami perubahan mekanisme penyaluran dan. Pada
tahun anggaran 2011 penyaluran dana BOS dilakukan melalui mekanisme
transfer ke daerah kabupaten/kota dalam bentuk Dana Penyesuaian untuk Bantuan
Operasional Sekolah, mulai tahun anggaran 2012 dana BOS disalurkan dengan
mekanisme yang sama tetapi melalui pemerintah provinsi.
Pengertian
BOS
Menurut Peraturan Mendiknas nomor 69
Tahun 2009, standar biaya operasi nonpersonalia adalah standar biaya yang
diperlukan untuk membiayai kegiatan operasi nonpersonalia selama 1 (satu) tahun
sebagai bagian dari keseluruhan dana pendidikan agar satuan pendidikan dapat
melakukan kegiatan pendidikan secara teratur dan berkelanjutan sesuai Standar
Nasional Pendidikan. BOS adalah program pemerintah yang pada dasarnya adalah
untuk penyediaan pendanaan biaya operasi nonpersonalia bagi satuan pendidikan
dasar sebagai pelaksana program wajib belajar. Namun demikian, ada beberapa
jenis pembiayaan investasi dan personalia yang diperbolehkan dibiayai dengan
dana BOS.
Tujuan
Bantuan Operasional Sekolah
Secara umum program BOS bertujuan untuk
meringankan beban masyarakat terhadap pembiayaan pendidikan dalam rangka wajib
belajar 9 tahun yang bermutu.
Secara khusus program BOS bertujuan
untuk:
1. Membebaskan pungutan
bagi seluruh siswa SD/SDLB negeri dan SMP/SMPLB/SMPT (Terbuka) negeri terhadap
biaya operasi sekolah, kecuali pada rintisan sekolah bertaraf internasional
(RSBI) dan sekolah bertaraf internasional (SBI). Sumbangan/pungutan bagi
sekolah RSBI dan SBI harus tetap mempertimbangkan fungsi pendidikan sebagai
kegiatan nirlaba, sehingga sumbangan/pungutan tidak boleh berlebih;
2. Membebaskan pungutan
seluruh siswa miskin dari seluruh pungutan dalam bentuk apapun, baik di sekolah
negeri maupun swasta;
3. Meringankan beban
biaya operasi sekolah bagi siswa di sekolah swasta.
Sasaran
Program dan Besar Bantuan
Sasaran program BOS adalah semua
sekolah SD dan SMP, termasuk SMP (SMPT) dan Tempat Kegiatan Belajar Mandiri
(TKBM) yang diselenggarakan oleh masyarakat, baik negeri maupun swasta di
seluruh provinsi di Indonesia. Program Kejar Paket A dan Paket B tidak termasuk
sasaran dari program BOS ini.
Besar biaya satuan BOS yang diterima
oleh sekolah pada tahun anggaran 2012, dihitung berdasarkan jumlah siswa
dengan ketentuan:
- SD/SDLB
: Rp
580.000,-/siswa/tahun
- SMP/SMPLB/SMPT
: Rp 710.000,-/siswa/tahun
Waktu
Penyaluran Dana
Tahun anggaran 2012, dana BOS akan
diberikan selama 12 bulan untuk periode Januari sampai Desember 2012, yaitu
semester 2 tahun pelajaran 2011/2012 dan semester 1 tahun pelajaran 2012/2013.
Penyaluran dana dilakukan setiap periode 3 bulanan, yaitu periode
Januari-Maret, April-Juni, Juli-September dan Oktober-Desember. Khusus untuk
sekolah di daerah terpencil, penyaluran dana BOS dilakukan 6 bulanan. Penetapan
daerah terpencil dilakukan melalui Peraturan Menteri Keuangan secara
khusus, atas usulan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
Penggunaan
Dana BOS
- Pembelian/penggandaan
buku teks pelajaran, yaitu untuk mengganti yang rusak atau untuk memenuhi
kekurangan.
- Pembiayaan
seluruh kegiatan dalam rangka penerimaan siswa baru, yaitu biaya
pendaftaran, penggandaan formulir, administrasi pendaftaran, dan
pendaftaran ulang, pembuatan spanduk sekolah bebas pungutan, serta
kegiatan lain yang berkaitan langsung dengan kegiatan tersebut (misalnya
untuk fotocopy, konsumsi panitia, dan uang lembur dalam rangka penerimaan
siswa baru, dan lainnya yang relevan);
- Pembiayaan
kegiatan pembelajaran remedial, PAKEM, pembelajaran kontekstual,
pembelajaran pengayaan, pemantapan persiapan ujian, olahraga, kesenian,
karya ilmiah remaja, pramuka, palang merah remaja, Usaha Kesehatan Sekolah
(UKS) dan sejenisnya (misalnya untuk honor jam mengajar tambahan di luar
jam pelajaran, biaya transportasi dan akomodasi siswa/guru dalam rangka
mengikuti lomba, fotocopy, membeli alat olah raga, alat kesenian dan biaya
pendaftaran mengikuti lomba);
- Pembiayaan
ulangan harian, ulangan umum, ujian sekolah dan laporan hasil belajar
siswa (misalnya untuk fotocopi/ penggandaan soal, honor koreksi ujian dan
honor guru dalam rangka penyusunan rapor siswa);
- Pembelian
bahan-bahan habis pakai seperti buku tulis, kapur tulis, pensil, spidol,
kertas, bahan praktikum, buku induk siswa, buku inventaris, langganan
koran/majalah pendidikan, minuman dan makanan ringan untuk kebutuhan
sehari-hari di sekolah, serta pengadaan suku cadang alat kantor;
- Pembiayaan
langganan daya dan jasa, yaitu listrik, air, telepon, internet, modem,
termasuk untuk pemasangan baru jika sudah ada jaringan di sekitar sekolah.
Khusus di sekolah yang tidak ada jaringan listrik, dan jika sekolah
tersebut memerlukan listrik untuk proses belajar mengajar di sekolah, maka
diperkenankan untuk membeli genset;
- Pembiayaan
perawatan sekolah, yaitu pengecatan, perbaikan atap bocor, perbaikan
sanitasi/WC siswa, perbaikan pintu dan jendela, perbaikan mebeler,
perbaikan sanitasi sekolah, perbaikan lantai ubin/keramik dan perawatan
fasilitas sekolah lainnya;
- Pembayaran
honorarium bulanan guru honorer dan tenaga kependidikan honorer. Untuk
sekolah SD diperbolehkan untuk membayar honor tenaga yang membantu
administrasi BOS;
- Pengembangan
profesi guru seperti pelatihan, KKG/MGMP dan KKKS/MKKS. Khusus untuk
sekolah yang memperoleh hibah/block grant pengembangan KKG/MGMP atau
sejenisnya pada tahun anggaran yang sama tidak diperkenankan menggunakan
dana BOS untuk peruntukan yang sama;
- Pemberian
bantuan biaya transportasi bagi siswa miskin yang menghadapi masalah biaya
transport dari dan ke sekolah, seragam, sepatu/alat tulis sekolah bagi
siswa miskin yang menerima Bantuan Siswa Miskin . Jika dinilai lebih
ekonomis, dapat juga untuk membeli alat transportasi sederhana yang akan
menjadi barang inventaris sekolah (misalnya sepeda, perahu penyeberangan,
dll);
- Pembiayaan
pengelolaan BOS seperti alat tulis kantor (ATK termasuk tinta printer, CD
dan flash disk), penggandaan, surat-menyurat, insentif bagi bendahara
dalam rangka penyusunan laporan BOS dan biaya transportasi dalam rangka
mengambil dana BOS di Bank/PT Pos;
- Pembelian
komputer (desktop/work station) dan printer untuk kegiatan belajar siswa,
masing-masing maksimum 1 unit dalam satu tahun anggaran;
- Bila seluruh
komponen 1 s.d 12 di atas telah terpenuhi pendanaannya dari BOS dan masih
terdapat sisa dana, maka sisa dana BOS tersebut dapat digunakan untuk
membeli alat peraga, media pembelajaran, mesin ketik, peralatan UKS dan
mebeler sekolah.
Larangan
Penggunaan Dana BOS
- Disimpan dalam
jangka waktu lama dengan maksud dibungakan.
- Dipinjamkan
kepada pihak lain.
- Membiayai
kegiatan yang tidak menjadi prioritas sekolah dan memerlukan biaya besar,
misalnya studi banding, studi tour (karya wisata) dan sejenisnya.
- Membiayai
kegiatan yang diselenggarakan oleh UPTD Kecamatan/
Kabupaten/kota/Provinsi/Pusat, atau pihak lainnya, walaupun pihak sekolah
tidak ikut serta dalam kegiatan tersebut. Sekolah hanya
diperbolehkan menanggung biaya untuk siswa/guru yang ikut serta dalam
kegiatan tersebut.
- Membayar bonus
dan transportasi rutin untuk guru.
- Membeli
pakaian/seragam bagi guru/siswa untuk kepentingan pribadi (bukan
inventaris sekolah).
- Digunakan untuk
rehabilitasi sedang dan berat.
- Membangun
gedung/ruangan baru.
- Membeli
bahan/peralatan yang tidak mendukung proses pembelajaran.
- Menanamkan
saham.
- Membiayai
kegiatan yang telah dibiayai dari sumber dana pemerintah pusat atau
pemerintah daerah secara penuh/wajar, misalnya guru kontrak/guru bantu.
- Kegiatan
penunjang yang tidak ada kaitannya dengan operasi sekolah, misalnya iuran
dalam rangka perayaan hari besar nasional dan upacara keagamaan/acara
keagamaan.
- Membiayai
kegiatan dalam rangka mengikuti pelatihan/sosialisasi/ pendampingan
terkait program BOS/perpajakan program BOS yang diselenggarakan lembaga di
luar Dinas Pendidikan Provinsi/Kabupaten/ Kota dan Kementerian Pendidikan
Nasional.
Hal-Hal Yang Harus Diperhatikan Dalam Penggunaan Dana BOS
- Prioritas utama
penggunaan dana BOS adalah untuk kegiatan operasional sekolah;
- Maksimum
penggunaan dana untuk belanja pegawai bagi sekolah negeri sebesar 20%.
Penggunaan dana untuk honorarium guru honorer di sekolah agar
mempertimbangkan rasio jumlah siswa dan guru sesuai dengan ketentuan
pemerintah yang ada dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 15
Tahun 2010 tentang SPM Pendidikan Dasar di Kabupaten/Kota;
- Bagi sekolah
yang telah menerima DAK, tidak diperkenankan menggunakan dana BOS untuk
peruntukan yang sama;
- Pembelian
barang/jasa per belanja tidak melebihi Rp. 10 juta;
- Penggunaan dana
BOS untuk transportasi dan uang lelah bagi guru PNS diperbolehkan hanya
dalam rangka penyelenggaraan suatu kegiatan sekolah selain kewajiban jam
mengajar. Besaran/satuan biaya untuk transportasi dan uang lelah
guru PNS yang bertugas di luar jam mengajar tersebut harus mengikuti batas
kewajaran. Pemerintah daerah wajib mengeluarkan peraturan tentang
penetapan batas kewajaran tersebut di daerah masing-masing dengan mempertimbangkan
faktor sosial ekonomi, faktor geografis dan faktor lainnya;
- Jika dana BOS
yang diterima oleh sekolah dalam triwulan tertentu lebih besar/kurang dari
jumlah yang seharusnya, misalnya akibat kesalahan data jumlah siswa, maka
sekolah harus segera melapor kepada Dinas Pendidikan. Selanjutnya Dinas
Pendidikan mengirim surat secara resmi kepada Dirjen Manajemen Pendidikan
Dasar dan Menengah yang berisikan daftar sekolah yang lebih/kurang untuk
diperhitungkan pada penyesuaian alokasi pada triwulan berikutnya;
- Jika terdapat
siswa pindah/mutasi ke sekolah lain setelah pencairan dana di triwulan
berjalan, maka dana BOS siswa tersebut pada triwulan berjalan menjadi hak
sekolah lama. Revisi jumlah siswa pada sekolah yang ditinggalkan/menerima
siswa pindahan tersebut baru diberlakukan untuk pencairan triwulan
berikutnya;
- Bunga Bank/Jasa
Giro akibat adanya dana di rekening sekolah menjadi milik sekolah untuk
digunakan bagi sekolah.
Landasan
Hukum
Landasan
hukum kebijakan penyaluran dan pengelolaan dana BOS Tahun 2012 antara lain:
- Peraturan
Menteri Keuangan No. 201/PMK.07/2011 tentang Pedoman Umum dan
Alokasi BOS Tahun Anggaran 2012
- Peraturan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 51/2011 Tentang Petunjuk Teknis
Penggunaan Dana BOS dan Laporan Keuangan BOS Tahun Anggaran 2012
- Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 62 Tahun 2011 Tentang Pedoman Pengelolaan BOS
Pahlawan Nasional : Kartini
Raden Adjeng Kartini atau sebenarnya lebih tepat disebut Raden Ayu
Kartini, (Jepara, 21 April 1879 - Rembang, 17 September 1904), adalah seorang tokoh
Jawa dan Pahlawan Nasional Indonesia. Kartini dikenal sebagai pelopor kebangkitan
perempuan pribumi.
Raden Adjeng Kartini adalah seseorang dari kalangan priyayi atau kelas Bangsawan Jawa, putri Raden Mas Sosroningrat, bupati Jepara. Beliau putri R.M. Sosroningrat dari istri pertama, tetapi bukan istri utama. Kala itu poligami adalah suatu hal yang biasa.
Kartini lahir dari keluarga ningrat Jawa. Ayahnya, R.M.A.A Sosroningrat, pada mulanya adalah seorang wedana di Mayong. Ibunya bernama M.A. Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di Teluwakur, Jepara. Peraturan Kolonial waktu itu mengharuskan seorang bupati beristerikan seorang bangsawan. Karena M.A. Ngasirah bukanlah bangsawan tinggi, maka ayahnya menikah lagi dengan Raden Ajeng Woerjan (Moerjam), keturunan langsung Raja Madura. Setelah perkawinan itu, maka ayah Kartini diangkat menjadi bupati di Jepara menggantikan kedudukan ayah kandung R.A. Woerjan, R.A.A. Tjitrowikromo.
Kartini adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri. Dari kesemua saudara sekandung, Kartini adalah anak perempuan tertua. Beliau adalah keturunan keluarga yang cerdas. Kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro IV, diangkat bupati dalam usia 25 tahun. Kakak Kartini, Sosrokartono, adalah seorang yang pintar dalam bidang bahasa.
Sampai usia 12 tahun, Kartini diperbolehkan bersekolah di ELS (Europese Lagere School). Di sini antara lain Kartini belajar bahasa Belanda. Tetapi setelah usia 12 tahun, ia harus tinggal di rumah karena sudah bisa dipingit.
Karena Kartini bisa berbahasa Belanda, maka di rumah ia mulai belajar sendiri dan menulis surat kepada teman-teman korespondensi yang berasal dari Belanda. Salah satunya adalah Rosa Abendanon yang banyak mendukungnya. Dari buku-buku, koran, dan majalah Eropa, Kartini tertarik pada kemajuan berpikir perempuan Eropa. Timbul keinginannya untuk memajukan perempuan pribumi, dimana kondisi sosial saat itu perempuan pribumi berada pada status sosial yang rendah.
Kartini banyak membaca surat kabar Semarang De Locomotief yang diasuh Pieter Brooshooft, ia juga menerima leestrommel (paket majalah yang diedarkan toko buku kepada langganan). Di antaranya terdapat majalah kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang cukup berat, juga ada majalah wanita Belanda De Hollandsche Lelie. Kartini pun kemudian beberapa kali mengirimkan tulisannya dan dimuat di De Hollandsche Lelie. Dari surat-suratnya tampak Kartini membaca apa saja dengan penuh perhatian, sambil membuat catatan-catatan. Kadang-kadang Kartini menyebut salah satu karangan atau mengutip beberapa kalimat. Perhatiannya tidak hanya semata-mata soal emansipasi wanita, tapi juga masalah sosial umum. Kartini melihat perjuangan wanita agar memperoleh kebebasan, otonomi dan persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas. Di antara buku yang dibaca Kartini sebelum berumur 20, terdapat judul Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta karya Multatuli, yang pada November 1901 sudah dibacanya dua kali. Lalu De Stille Kraacht (Kekuatan Gaib) karya Louis Coperus. Kemudian karya Van Eeden yang bermutu tinggi, karya Augusta de Witt yang sedang-sedang saja, roman-feminis karya Nyonya Goekoop de-Jong Van Beek dan sebuah roman anti-perang karangan Berta Von Suttner, Die Waffen Nieder (Letakkan Senjata). Semuanya berbahasa Belanda.
Oleh orangtuanya, Kartini disuruh menikah dengan bupati Rembang, Raden Adipati Joyodiningrat, yang sudah pernah memiliki tiga istri. Kartini menikah pada tanggal 12 November 1903. Suaminya mengerti keinginan Kartini dan Kartini diberi kebebasan dan didukung mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang, atau di sebuah bangunan yang kini digunakan sebagai Gedung Pramuka.
Anak pertama dan sekaligus terakhirnya, RM Soesalit, lahir pada tanggal 13 September 1904. Beberapa hari kemudian, 17 September 1904, Kartini meninggal pada usia 25 tahun. Kartini dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang.
Berkat kegigihannya Kartini, kemudian didirikan Sekolah Wanita oleh Yayasan Kartini di Semarang pada 1912, dan kemudian di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya. Nama sekolah tersebut adalah "Sekolah Kartini". Yayasan Kartini ini didirikan oleh keluarga Van Deventer, seorang tokoh Politik Etis.
Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964, yang menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional sekaligus menetapkan hari lahir Kartini, tanggal 21 April, untuk diperingati setiap tahun sebagai hari besar yang kemudian dikenal sebagai Hari Kartini.
Setelah Kartini wafat, Mr. J.H. Abendanon mengumpulkan dan membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan R.A Kartini pada para teman-temannya di Eropa. Abendanon saat itu menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda. Buku itu diberi judul Door Duisternis tot Licht yang artinya Habis Gelap Terbitlah Terang. Buku kumpulan surat Kartini ini diterbitkan pada 1911. Buku ini dicetak sebanyak lima kali, dan pada cetakan terakhir terdapat tambahan surat Kartini. Dalam bahasa Inggris, surat-surat Kartini juga pernah diterjemahkan oleh Agnes L. Symmers.
Terbitnya surat-surat Kartini, seorang perempuan pribumi, sangat menarik perhatian masyarakat Belanda, dan pemikiran-pemikiran Kartini mulai mengubah pandangan masyarakat Belanda terhadap perempuan pribumi di Jawa. Pemikiran-pemikiran Kartini yang tertuang dalam surat-suratnya juga menjadi inspirasi bagi tokoh-tokoh kebangkitan nasional Indonesia.
Raden Adjeng Kartini adalah seseorang dari kalangan priyayi atau kelas Bangsawan Jawa, putri Raden Mas Sosroningrat, bupati Jepara. Beliau putri R.M. Sosroningrat dari istri pertama, tetapi bukan istri utama. Kala itu poligami adalah suatu hal yang biasa.
Kartini lahir dari keluarga ningrat Jawa. Ayahnya, R.M.A.A Sosroningrat, pada mulanya adalah seorang wedana di Mayong. Ibunya bernama M.A. Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di Teluwakur, Jepara. Peraturan Kolonial waktu itu mengharuskan seorang bupati beristerikan seorang bangsawan. Karena M.A. Ngasirah bukanlah bangsawan tinggi, maka ayahnya menikah lagi dengan Raden Ajeng Woerjan (Moerjam), keturunan langsung Raja Madura. Setelah perkawinan itu, maka ayah Kartini diangkat menjadi bupati di Jepara menggantikan kedudukan ayah kandung R.A. Woerjan, R.A.A. Tjitrowikromo.
Kartini adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri. Dari kesemua saudara sekandung, Kartini adalah anak perempuan tertua. Beliau adalah keturunan keluarga yang cerdas. Kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro IV, diangkat bupati dalam usia 25 tahun. Kakak Kartini, Sosrokartono, adalah seorang yang pintar dalam bidang bahasa.
Sampai usia 12 tahun, Kartini diperbolehkan bersekolah di ELS (Europese Lagere School). Di sini antara lain Kartini belajar bahasa Belanda. Tetapi setelah usia 12 tahun, ia harus tinggal di rumah karena sudah bisa dipingit.
Karena Kartini bisa berbahasa Belanda, maka di rumah ia mulai belajar sendiri dan menulis surat kepada teman-teman korespondensi yang berasal dari Belanda. Salah satunya adalah Rosa Abendanon yang banyak mendukungnya. Dari buku-buku, koran, dan majalah Eropa, Kartini tertarik pada kemajuan berpikir perempuan Eropa. Timbul keinginannya untuk memajukan perempuan pribumi, dimana kondisi sosial saat itu perempuan pribumi berada pada status sosial yang rendah.
Kartini banyak membaca surat kabar Semarang De Locomotief yang diasuh Pieter Brooshooft, ia juga menerima leestrommel (paket majalah yang diedarkan toko buku kepada langganan). Di antaranya terdapat majalah kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang cukup berat, juga ada majalah wanita Belanda De Hollandsche Lelie. Kartini pun kemudian beberapa kali mengirimkan tulisannya dan dimuat di De Hollandsche Lelie. Dari surat-suratnya tampak Kartini membaca apa saja dengan penuh perhatian, sambil membuat catatan-catatan. Kadang-kadang Kartini menyebut salah satu karangan atau mengutip beberapa kalimat. Perhatiannya tidak hanya semata-mata soal emansipasi wanita, tapi juga masalah sosial umum. Kartini melihat perjuangan wanita agar memperoleh kebebasan, otonomi dan persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas. Di antara buku yang dibaca Kartini sebelum berumur 20, terdapat judul Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta karya Multatuli, yang pada November 1901 sudah dibacanya dua kali. Lalu De Stille Kraacht (Kekuatan Gaib) karya Louis Coperus. Kemudian karya Van Eeden yang bermutu tinggi, karya Augusta de Witt yang sedang-sedang saja, roman-feminis karya Nyonya Goekoop de-Jong Van Beek dan sebuah roman anti-perang karangan Berta Von Suttner, Die Waffen Nieder (Letakkan Senjata). Semuanya berbahasa Belanda.
Oleh orangtuanya, Kartini disuruh menikah dengan bupati Rembang, Raden Adipati Joyodiningrat, yang sudah pernah memiliki tiga istri. Kartini menikah pada tanggal 12 November 1903. Suaminya mengerti keinginan Kartini dan Kartini diberi kebebasan dan didukung mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang, atau di sebuah bangunan yang kini digunakan sebagai Gedung Pramuka.
Anak pertama dan sekaligus terakhirnya, RM Soesalit, lahir pada tanggal 13 September 1904. Beberapa hari kemudian, 17 September 1904, Kartini meninggal pada usia 25 tahun. Kartini dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang.
Berkat kegigihannya Kartini, kemudian didirikan Sekolah Wanita oleh Yayasan Kartini di Semarang pada 1912, dan kemudian di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya. Nama sekolah tersebut adalah "Sekolah Kartini". Yayasan Kartini ini didirikan oleh keluarga Van Deventer, seorang tokoh Politik Etis.
Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964, yang menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional sekaligus menetapkan hari lahir Kartini, tanggal 21 April, untuk diperingati setiap tahun sebagai hari besar yang kemudian dikenal sebagai Hari Kartini.
Setelah Kartini wafat, Mr. J.H. Abendanon mengumpulkan dan membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan R.A Kartini pada para teman-temannya di Eropa. Abendanon saat itu menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda. Buku itu diberi judul Door Duisternis tot Licht yang artinya Habis Gelap Terbitlah Terang. Buku kumpulan surat Kartini ini diterbitkan pada 1911. Buku ini dicetak sebanyak lima kali, dan pada cetakan terakhir terdapat tambahan surat Kartini. Dalam bahasa Inggris, surat-surat Kartini juga pernah diterjemahkan oleh Agnes L. Symmers.
Terbitnya surat-surat Kartini, seorang perempuan pribumi, sangat menarik perhatian masyarakat Belanda, dan pemikiran-pemikiran Kartini mulai mengubah pandangan masyarakat Belanda terhadap perempuan pribumi di Jawa. Pemikiran-pemikiran Kartini yang tertuang dalam surat-suratnya juga menjadi inspirasi bagi tokoh-tokoh kebangkitan nasional Indonesia.
Sebelum kita membahas topik ini lebih jauh lagi
saya akan memberikan data dan fakta berikut:
- 158
kepala daerah tersangkut korupsi sepanjang 2004-2011
- 42
anggota DPR terseret korupsi pada kurun waktu 2008-2011
- 30
anggota DPR periode 1999-2004 terlibat kasus suap pemilihan DGS BI
- Kasus
korupsi terjadi diberbagai lembaga seperti KPU,KY, KPPU, Ditjen Pajak, BI,
dan BKPM
Sumber : Litbang Kompas
Kini setelah membaca fakta diatas, apa yang ada
dipikran anda? Cobalah melihat lebih ke atas sedikit, lebih tepatnya judul
artikel ini. Yah, itu adalah usulan saya untuk beberapa kasus yang membuat hati
di dada kita “terhentak” membaca kelakuan para pejabat Negara.
Pendidikan karakter,
sekarang ini mutlak diperlukan bukan hanya di sekolah saja, tapi
dirumah dan di lingkungan sosial. Bahkan sekarang ini peserta pendidikan karakter
bukan lagi anak usia dini
hingga remaja, tetapi juga usia dewasa. Mutlak perlu untuk kelangsungan hidup
Bangsa ini.
Bayangkan apa persaingan yang muncul
ditahun 2021? Yang jelas itu akan menjadi beban kita dan orangtua masa kini.
Saat itu, anak-anak masa kini akan menghadapi persaingan dengan
rekan-rekannya dari berbagai belahan Negara di Dunia. Bahkan kita yang masih
akan berkarya ditahun tersebut akan merasakan perasaan yang sama. Tuntutan
kualitas sumber daya manusia pada tahun 2021 tentunya membutuhkan good
character.
Bagaimanapun juga, karakter adalah kunci
keberhasilan individu. Dari sebuah penelitian di Amerika, 90 persen kasus
pemecatan disebabkan oleh perilaku buruk seperti tidak bertanggung jawab, tidak
jujur, dan hubungan interpersonal yang buruk. Selain itu, terdapat penelitian
lain yang mengindikasikan bahwa 80 persen keberhasilan seseorang di masyarakat
ditentukan oleh emotional quotient.
Bagaimana dengan bangsa kita? Bagaimana
dengan penerus orang-orang yang sekarang sedang duduk dikursi penting
pemerintahan negara ini dan yang duduk di kursi penting yang mengelola roda
perekonomian negara ini? Apakah mereka sudah menunjukan kualitas karakter yang baik dan
melegakan hati kita? Bisakah kita percaya, kelak tongkat estafet kita serahkan
pada mereka, maka mereka mampu menjalankan dengan baik atau justru sebaliknya?
Dari sudut pandang psikologis, saya melihat
terjadi penurunan kulaitas “usia psikologis” pada anak yang berusia
21 tahun pada tahun 20011, dengan anak yang berumur 21 pada tahun 2001. Maksud
usia psikologis adalah usia kedewasaan, usia kelayakan dan kepantasan yang
berbanding lurus dengan usia biologis. Jika anak sekarang usia 21 tahun seakan
mereka seperti berumur 12 atau 11 tahun. Maaf jika ini mengejutkan dan
menyakitkan.
Walau tidak semua, tetapi kebanyakan saya temui
memiliki kecenderungan seperti itu. Saya berulangkali bekerjasama dengan anak
usia tersebut dan hasilnya kurang maksimal. Saya tidak “kapok” ber ulang-ulang
bekerja sama dengan mereka. Dan secara tidak sengaja saya menemukan pola ini
cenderung berulang, saya amati dan evaluasi perilaku dan karakter mereka. Kembali
lagi ingat, disekolah pada umumnya tidak diberikan pendidikan untuk mengatasi persaingan
pada dunia kerja. Sehingga ada survey yang mengatakan rata-rata setelah sekolah
seorang anak perlu 5-7 tahun beradaptasi dengan dunia kerja dan rata-rata dalam
5-7 tahun tersebut pindah kerja sampai 3-5 kali. Hmm.. dan proses seperti ini sering
disebut dengan proses mencari jati diri.
Pertanyaan saya mencari “diri” itu didalam diri atau diluar diri? “saya
cocoknya kerja apa ya? Coba kerjain ini lah” lalu kalau tidak cocok pindah ke
lainnya. Kenapa tidak diajarkan disekolah, agar proses anak menjalani
kehidupan di dunia yang sesungguhnya tidak mengalami hambatan bahkan
tidak jarang yang putus asa karena tumbuh perasaan tidak mampu didalam dirinya
dan seumur hidup terpenjara oleh keyakinannya yang salah.
Baiklah kembali lagi ke topik, Karakter merupakan
nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri
sendiri, sesama manusia, lingkungan dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran,
sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum,
tata krama, budaya dan adat istiadat.
Bagi Indonesia sekarang ini, pendidikan karakter
juga berarti melakukan usaha sungguh-sungguh, sitematik dan berkelanjutan untuk
membangkitkan dan menguatkan kesadaran serta keyakinan semua orang Indonesia
bahwa tidak akan ada masa depan yang lebih baik tanpa membangun dan menguatkan karakter rakyat Indonesia.
Dengan kata lain, tidak ada masa depan yang lebih baik yang bisa diwujudkan
tanpa kejujuran, tanpa meningkatkan disiplin diri, tanpa kegigihan, tanpa semangat belajar yang tinggi, tanpa
mengembangkan rasa tanggung jawab, tanpa memupuk persatuan di tengah-tengah
kebinekaan, tanpa semangat berkontribusi bagi
kemajuan bersama, serta tanpa rasa percaya diri dan optimisme. Inilah tantangan
kita bangsa Indonesia, sanggup?
Theodore Roosevelt mengatakan: “To educate a
person in mind and not in morals is to educate a menace to society” (Mendidik
seseorang dalam aspek kecerdasan otak dan bukan aspek moral adalah ancaman
mara-bahaya kepada masyarakat)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar